Hari-hari

if computer doesn’t exist in our life

Your life without a computer: what does it look like?

I can see myself with stack of books and litres of hot drink—tea, milk, coffee…. There are books I haven’t read yet for years. Maybe it because the existence of computer slash laptop, too?

If I became tired of reading, I will move to my next hobby: letter writing. Duh, I just remembered that I haven’t replie to many mails from my pen pals. Now I really miss the happiness I felt while writing letter to them! Reading their letter, responding to their stories, putting some gifts, decorating the envelope, and—the last one—sending the happy mails to them!

Or, because sometimes reading and writing are exhausting and make me sleepy, simply I will sleeping instead. 🤣

However, the absence of computer would make my job in the library a bit tougher.

If there was a visitor asked particular book in the library, I can find it only by typing the title and push the Enter button. I need to open a big list of books, and look for it one by one. I also have to record every collection that has been lent out and retrned, all by handwriting on a certain book.

Thank goodness it’s just a writing prompt from WordPress. But, to be frankly, sometimes I’m wondering about the same thing too. While it’s true that technology plays a significant role in lur lives today, what would happen if it dissappeared obernight?

#30DWC Jilid 43, Jurnal Syukur

Benarkah Kita Butuh Healing?

Jika para pekerja kantoran yang merasa jenuh bisa rehat dengan healing, apa kabar para supir bus yang pekerjaannya lebih stressful, ya?

Hal ini tiba-tiba saja terpikirkan di perjalanan pulang kegiatan studi banding dari tempatku bekerja. Kami berangkat dari Depok ke Bandung selepas subuh, lalu pulang saat maghrib. Namun, pukul 10 malam kami masih di jalan dan terjebak kemacetan yang luar biasa. Saking lamanya terjebak macet, aku sampai mengantuk, jatuh tertidur, hingga terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Karena kursiku tepat berada di belakang supir, aku bisa melihat kaca depan bus yang hanya ada pemandangan mobil mengantre di tengah kemacetan. Bus kami punhanya maju sesekali karena memang separah itu macetnya.

Aku seketika sadar bahwa pekerjaan sebagai supir bus ini pasti sangat stressful, ya. Kalau mereka mau rehat, healing-nya ke mana?

Continue reading “Benarkah Kita Butuh Healing?”
#30DWC Jilid 43

Nasihat Ibu yang Selalu Kuingat

“Kalau terjadi sesuatu, positive thinking saja, Mbak.”

Begitulah nasihat ibu setiap kali aku berkeluh-kesah padanya. Sejauh yang kuingat, nasihat ini kudengar pertama kali saat tahun 2012 ketika putrinya ini duduk di bangku SMP. Kalau aku curhat ada teman yang menyebalkan, mendapat nilai jelek di ujian, atau dimarahi guru, nasihat ibu selalu sama: berpikir positif saja.

Continue reading “Nasihat Ibu yang Selalu Kuingat”
#30DWC Jilid 43, Islam

“Hukuman dari Allah Kok Sadis?”

Pernah mendengar hukuman teringan di neraka? Ada yang bilang yang paling ringan adalah memakai sandal dari bara api. Saking panasnya sampai bisa membuat otak kita mencair.

Pendapat lain mengatakan bahwa hukumam paling ringan adalah “dicelupkan” ke dalam api neraka. Awalnya api neraka berwarna merah, tetapi sudah berganti jadi putih dan berubah hitam karena sudah dinyalakan selama 3000 tahun.

Walaupun ada 2 pendapat, semuanya sama-sama mengerikan. Setelah mendengarnya, jadi bertanya-tanya nggak sih? Katanya paling ringan, kok hukumannya sesadis itu?

Continue reading ““Hukuman dari Allah Kok Sadis?””
#30DWC Jilid 43, Review

Harry Potter dan Batu Bertuah: Buku Vs. Film

Beberapa waktu lalu aku baru menyelesaikan buku pertama dari seri Harry Potter. Coba bayangkan, padahal bukunya sudah terbit sejak 1997, tetapi baru kubaca dan kutamatkan di tahun 2023. 😂 Mungkin inilah yang dinamakan karya yang tak lekang oleh zaman.

Setelah membaca buku pertamanya, kemarin aku baru saja menamatkan film pertamanya juga. Kalau disuruh memilih, sepertinya aku lebih suka versi bukunya.

Continue reading “Harry Potter dan Batu Bertuah: Buku Vs. Film”