Jalan-jalan, Keluarga

Siblings Quality Time…?

Hari Jumat beberapa minggu lalu, tepatnya tanggal 13 April, adalah hari pertama anak SMA kelas 12 terbebas dari UN. Hari itu pula aku mengajak adik laki-lakiku pergi berdua. Sebut saja ingin menjajal yang namanya Siblings Days Out.

<!–

–>

Aku mengajaknya makan siang di luar dengan dalih ajakan refreshing karena dia baru selesai UN. Sebelumnya, kami tidak pernah pergi berdua untuk kegiatan seperti Siblings Days Out atau Quality Time. Sekalinya pergi berdua, mentok-mentok pas ke Gelar Jepang UI, itupun bukan quality time karena kami jadi pepes manusia di sana, lol.

Sebagai kakak yang baik hati, aku menawarinya makan siang bareng di restoran yang terkenal dengan ayam goreng tepung dengan logo kakek-kakek berjanggut. Kutraktir―karena dia pasti malas membayar sih, hahaha. Kebetulan hari Jumat kelasku hanya satu, selesai sebelum Jumatan. Rencanaku adalah kami berangkat ke kampus bareng, dia kuturunkan di Masjid UI, aku lanjut ke FIB untuk kelas, lalu selesai kelas langsung janjian di Perpusat setelah Jumatan selesai, dan kami berangkat bareng ke destinasi.

Tahap pertama sukses terlaksana. Walaupun aku sempat mengkhawatirkan adikku sulit dibangunkan pagi-pagi, nyatanya dia sudah bangun saat kusamperin ke kamar. Biasanya masih bergulung di selimut kayak dadar gulung.

“Aku nggak mau ah,” godanya, pura-pura merajuk.

“Ya, ya, ya. Ayo, bangun. Mandi.” Aku tidak menanggapi rajukan pura-puranya itu. Kalau ditanggapi dengan balas merajuk, artinya aku memakan keisengannya dan dia akan semakin senang saja.

Dia sempat kembali pura-pura merajuk, sok-sok malas dan membatalkan rencana, tapi ujung-ujungnya kami berangkat juga pukul 8.10 setelah aku mewanti-wantinya untuk bergegas.

“Nanti aku telat, nih!” seruku, balas pura-pura. Padahal masih pukul 8.00. Yah, kelasku kan pukul 9, berangkat pukul 8.30 juga masih sempat (walau ngepas banget sampainya).

Tadinya kupikir dia tidak mempedulikanku―dia memang rajanya memberi respon yang menyebalkan, tetapi aku tahu bahwa dia juga … apa ya, ‘merasa bersalah’ karena aku sudah ngedumel takut telat. Di jalan dia agak ngebut dong, akunya yang panik. 😂

“Nggak usah ngebut-ngebut,” seruku dari belakang ketika kami sudah 8 menit perjalanan.

“Biar kamu nggak telat.”

Selow aja, aku masuk jam 9 kok.”

Kalau aku jadi dia, mungkin aku bakal sedikit sebal karena diakali. 😀

Setelah tiba di kampus lewat jalan tembus Stasiun Pondok Cina, aku mengarahkannya ke FIB melalui jalur yang melewati Masjid UI. Sesuai rencana, dan juga kesepakatan malam sebelumnya, dia akan kuturunkan di Masjid UI. Saat itu masih pukul 8.30. Kalaupun dia bisa sekalian Jumatan, nunggunya lumayan lama.

“Terus aku ngapain di sini?” tanyanya sambil memberi helm. Sekilas suaranya terdengar hopeless.

“Beribadah,” sahutku cepat, setengah jail, kemudian tancap gas. Meninggalkannya yang berjalan masuk ke arah masjid sambil ‘mengusirku’.

Kelasku seru-seru saja karena mendengarkan pengalaman dosen. Sekali-dua kali kami disuruh melemparkan argumen, dan yang paling kusukai dengan dosenku hari ini adalah beliau tidak pernah menyalahkan argumen apa pun dari mahasiswa. Yang penting argumen kami punya alasan. Semua jawaban kami dihargai, sekali pun tidak tepat, tetap dibenarkan dan dikoreksi. Top banget deh. Soalnya aku punya dosen yang berkebalikan 180 derajat. Mutlak tidak menerima argumen yang salah―ralat, tidak menerima argumen yang tidak sesuai dengan persepsi atau keinginan beliau.

Kok jadi curhat. 😅

Walaupun kelasnya selesai agak lama, yaitu pukul 11.30 lebih, aku tidak langsung bertemu dengan adikku. Selain karena dia juga belum mulai Jumatan, aku juga sudah membuat janji temu dengan salah satu teman satu departemenku di Salam UI. Namanya Indri―nama panjangnya tidak perlu ya, nanti anaknya kesenengan, hehehehehehe. Kami sudah lama membuat rencana makan es krim bareng. Namun, rencana ini agak berubah karena tadinya mau kutraktir es krim di Kanhum FIB, tapi si Abang sudah keburu tutup toko karena mau Jumatan, jadinya kami pindah haluan ke toko es krim di Perpusat.

Kalau aku tidak salah ingat, nama tokonya dips. Gosipnya, es krimnya enak. Banget. Pokoknya orang-orang yang kutemui dan pernah makan es krim di sana selalu bilang kalau es krimnya enak, bahkan sampai hiperbola gitu deh testimoninya. Worth it banget ceunah walau harganya dua kali lipat harga es krim Kanhum, yaitu Rp10.000. Aku tidak serta merta percaya, tapi juga tidak menolak opini tersebut karena setiap melewati toko itu aku selalu menemukan antrian yang mengular sampai keluar toko waktu lagi ramai.

Beruntung, hari Jumat itu, ketika Jumatan, antrian tidak terlalu panjang sampai mengular keluar toko. Kami mengantri, dan agak makan waktu karena es krimnya kayak baru dibikin gitu. Kalau sudah dibikin, sepertinya prosesnya akan cepat saja. Bahkan saat sudah memesan, kami hanya diminta menunggu 4 menit karena es krimnya belum jadi. Kami tidak masalah karena bisa menunggu sambil mengobrol.

Es krim dips ini punya tiga rasa utama, yaitu cokelat, vanila, dan matcha. Harganya Rp10.000, mau satu rasa atau dua rasa sama saja. Aku sama Indri sama-sama pesan Matcha.

“Kok lu nggak cokelat aja, Kak?” tanyanya dengan ekspresi ada udang di balik bakwan.

“Emang kenapa?”

“Biar gue bisa cobain.” Dia nyengir.

Aku cuma pasang senyum tidak sampai mata. 🙂 Dan dia tertawa.

Untuk cone-nya, jujur, rasanya enak. Warnanya hitam, teksturnya kotak-kotak, digulung seperti kerucut agak panjang, dan renyah. Bahkan masih renyah setelah es krimku habis, tidak mudah melempem seperti cone yang berbentuk tabung pendek. Tapi, matcha-nya agak manis, mungkin kebanyakan susu? Overall enak sih.

Kami makan es krim di salah satu sofa di dalam gedung Perpusat (bukan perpustakaannya) sambil mengobrol ngalor-ngidul. Obrolan kami berhenti saat es krim sudah habis dan banyak laki-laki yang baru selesai Jumatan. Ditambah lagi adikku kirim pesan di Whatsapp dan aku belum sholat Dzuhur.

“Laper,” katanya.

Aku membatin, tapi kok aku nggak laper? Lalu mendadak ingat kalau barusan habis makan es krim, jadi keganjal laparnya. 😂 Akhirnya aku bilang dia untuk tunggu sebentar untuk sholat dulu.

Setelah sholat sebentar, aku berpisah dengan Indri yang juga sudah ada janji lain dengan temannya. Aku keluar dari Perpusat dan jalan ke parkirannya yang letaknya persis di sebelah Masjid UI. Sempat agak ribet sedikit waktu membuat lokasi janjian ketemuan, adikku buta arah dan akunya juga ogah kalau menyusulnya ke masjid karena saat itu masih banyak laki-laki yang baru selesai Jumatan. Kusuruh saja dia keluar, ke tempat tadi kuturunkan dari motor. Akhirnya dia mengerti dan berjalan ke arah parkiran Perpusat. Aku melihatnya, memberi kode ‘aku di sini’. Tidak diperhatikan, aku pun meneleponnya.

“Lihat kanan.”

Dia melihat kanan, pandangan kami beradu, aku melambai antusias. Tapi aku dicueki. 🙃 Pas sudah melihatku, dia malah mengambil jalur yang lebih jauh pula, kayak sengaja menjauh dan bikin sebal.

Untung masih saudara kandung. 😀

Setelah benar-benar bertemu, kuajak dia ke FIB karena motor kuparkir di sana. Perpusat ke FIB juga tidak jauh, bisa lewat belakang, melalui Taman Firdaus.

Nah, di sini ada cerita lucu lagi.

Jadi, dari kejauhan aku melihat tiga orang teman sekelasku. Malas ditanya-tanyai siapakah sosok laki-laki yang berjalan di sebelahlu dan juga malas dituduh macam-macam (walau cuma bercanda), aku membuat rencana dan berbisik ke adikku.

“Kamu jalan di belakangku ya, ada temenku nih.”

Untungnya adikku menurut saja. Beberapa langkah kemudian, pandanganku bertemu dengan ketiga temanku.

“Ipiiiin,” sapa mereka dengan ramah dan semringah.

“Eh, kalian. Mau Wiradha, ya?” tanyaku, menyinggung kegiatan magang di Perpusat karena aku tahu ketiganya mengikuti kegiatan itu dan sedang menuju Perpusat.

“Iya, nih. Kamu mau ke mana?”

“Ke FIB nih, mau ambil motor,” jawabku. “Duluan ya, semangat wiradhanya!”

Lalu kami berpisah.

Saat sudah beberapa langkah, aku menengok ke belakang untuk memperhitungkan jarakku dengan jarak ketiga temanku. Ketika kurasa sudah cukup jauh, aku menarik adikku untuk jalan di sebelahku lagi.

Aku tertawa. “Aku males kalau ditanya aneh-aneh. Kamu inget kan pas kamu ke Bookfest dibilang pacar? Padahal cuma adik,” kataku. “Tadi kamu ngapain belakang?”

“Pura-pura jadi mahasiswa yang main hape sambil jalan.”

Lol. Good job, brother.

“Bagus, bagus.”

Singkat cerita, kami sudah ambil motor dan melaju ke jalan raya. Tadinya kami mau ke KFC. Aku yang mengajak adikku karena penasaran dengan dua rasa unik di sana, yaitu ayam dengan saus cokelat dan ayam dengan saus salted egg. Kalau makan sendiri takut tidak habis, jadi mendingan bawa teman makan saja. Kan kalau tidak enak bisa dihabisin bareng. 😂

Namun, ternyata rencana itu berubah total. Kami pindah haluan, jadi makan di Margo City saja karena kalau ke KFC nanti ribet ke Margonya musti jalan kaki. Restoran Jepang menjadi tempat makan siang kami, dan adikku benar-benar santai tanpa mengurusi masalah pembayaran. Sementara aku sampai bela-belain harus ke ATM dulu. 😌

Selesai makan, kami mampir ke bioskop, sekaar melihat judul yang sedang tayang. Benar-benar cuma lihat judul, mungkin kami di dalam sana hanya hitungan detik saja lantas keluar lagi. Aku mengajaknya ke Gramedia yang ada persis di sebelah Margo City. Aku ingin membeli beberapa perlengkapan untuk menunjang hobi surat-suratanku. Sejujurnya, aku tidak menemukan apa-apa yang bisa dijadikan penunjang hobi baruku. Kalaupun ada, harganya mahal, aku jadi urung. Adikku tidak ada keperluan apa-apa di sana, jadi mungkin dia agak bete walau tidak diutarakan terang-terangan, tapi diutarakan dengan menyebalkan.

“Aku pulang ajalah,” sahutnya, mulai berperilaku menyebalkan walau setengah bercanda.

“Yaudah sana pulang,” jawabku, setengah bercanda juga.

“Mana kuncinya?” tanyanya, mulai serius.

“Lah, kan yang nyetir kamu?” Aku balik bertanya, lebih serius.

Adikku terdiam sebentar. “Lho bukannya kamu yang ngambil?”

“Aku kan bonceng, ngapain ngambil kunci?”

Lalu kami berpandangan dalam diam.

… kuncinya ketinggalan di motor.

Dari kejadian ini, aku belajar bahwa yang berlebihan itu tidak selalu baik, contohnya ya berlebihan dalam mempercayai seseorang…. Aku memeprcayakan kunci pada adikku karena dia yang nyetir motor―otomatis pasti dia ambil kunci dan menyimpannya. Namun, ternyata dia juga sangat percaya bahwa aku, pemboncengnya, mengambil kunci karena itu memang motor yang biasa kupakai ngampus―jadi sering disebut sebagai motorku juga. Hasil akhirnya, justru tidak ada yang mengambil kunci itu sama sekali.

Kalau menuruti keinginan, aku ingin menyalahkan kecerobohannya. Namun, aku tahu itu hanya akan memperburuk keadaan dan suasana. Terlebih, adikku paling tidak suka diungkit-ungkit kesalahannya―yah, aku juga tidak suka sih. Akhirnya, kami langsung keluar dari Gramedia, jalan cepat dengan bungkam. Bahkan menolak tawaran mas-mas sales yang sempat menyapa kami di depan pintu utama Gramedia.

“Selamat siang, Kak! Boleh minta waktunya sebentar?” tanyanya ramah dengan semringah dan senyuman lebar.

Aku, yang terburu-buru, langsung menolak dengan perasaan tidak enakan. “Maaf, Mas. Lagi buru-buru.”

“Oh … buru-buru ya, Mbak? Oke, makasih ya!” jawabnya lagi, masih berusaha ramah walau mungkin rada bete.

Punten, Mas. Buru-buru beneran ini teh. Asli. No tipu-tipu. :”)))

Selama jalan dari toko buku ke parkiran motor Margo City, kami cuma diam saja sambil menahan panas matahari. Pikiranku berkecamuk, berusaha menghasut diri sendiri dengan pikiran positif.

Kalau kuncinya masih ada, berarti masih rezeki kami. Kalau nggak ada … berarti memang bukan rezeki kami, begitu batinku. Sebuah usaha untuk menenangkan diri.

Dan saat melihat kuncinya masih nyantol di motor, aku menghela napas lega. Kami beradu pandang, seolah saling memberi kode, “kuncinya ada!” Lalu kami tertawa.

Sayangnya, kami sudah telanjur malas dan kegerahan untuk jalan lagi ke dalam Margo City. Hasrat untuk berkeliling sudah musnah, hahaha. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang saja. Mampir sebentar di Kantor Pos di Jalan Sejahtera untuk mengirim kartu pos ke kuar negeri.

Begitulah, cerita tentang Siblings Days Out pertamaku dengan adik yang dibumbui kecerobohan. Mungkin kejadian itu memang membuat emosi pada awalnya, tetapi justru menjadi cerita lucu ketika sedang dikenang. Pesan dari cerita ini? Jangan cepat emosi, menenangkan diri dengan berpikir positif, tidak memojokkan orang dengan kesalahannya, lalu senantiasa husnudzon dengan Allah atas apa saja yang menimpa kita.

Oh ya, dan jangan lupa ambil kunci motor setelah parkir. 😌

.

.

Depok, 7 Mei 2018

Leave a comment